Sabtu, 20 November 2010

Kisah Seorang Yahudi tinggal di rumah Rasulullah Sayyidina Muhammad (Kerukunan Beragama)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun telah mengijinkan seorang yahudi hadir dan tinggal di rumah beliau tanpa mengusirnya , padahal ia seorang yahudi yang berbeda agama dengan Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam , tetapi beliau mengizinkan yahudi itu tinggal di rumah beliau ,

beliau tidak melarangnya atau dengan mengatakan : ” engkau yahudi tidak boleh tinggal di rumahku , kotor dan najis !! ” , tidak demikian akhlak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam . Orang yahudi itu tinggal bersama Rasulullah dan tidur disana , makan sepiring dengan Rasul, membawakan air minum Rasul , seakan telah menjadi bagian di keluarga Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam dan tidak dipaksa untuk mengikuti agama Islam , sampai suatu saat ia sakit dan Rasul menjenguknya,

Rasul tidak berkata : ” syukur yahudi itu sakit dan tidak tinggal di rumahku lagi ” ,

rasul tidak demikian tetapi beliau berkata : ” mana orang yahudi yang tinggal di rumahku , mengapa dia pergi, apa kesalahanku ? ! ” .

Maka setelah rasul sampai di rumah orang yahudi itu , ternyata ia sudah dekat dengan sakaratul maut , maka Rasul berkata : ” wahai pemuda , maukah kau ucapakan ” Laa ilaaha illallah Muhammad Rasulullah ” , maka pemuda itu pun ragu untuk mengucapkannya ia menoleh ke ayahnya yang juga beragama yahudi ,

maka ayahnya berkata : ” betul , taati Aba Al Qasim dan ikuti ucapan itu ” , dan pemuda itupun mengucapkan ” Laa Ilaaha Illallah Muhammad Rasulullah ” kemudian ia pun wafat , maka berubahlah wajah Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam bagaikan belahan bulan purnama dari terang dan bercahaya karena gembira melihat orang yahudi yang tinggal di rumahnya itu wafat dalam keadaan Islam , demikian indahnya kerukunan umat beragama.

Abdullah bin Salam
(Pendeta Yahudi Masuk Islam).

Ketika awal kedatangan Rasulullah SAW di Madinah dalam keadaan peristiwa hijrah, banyak orang yang menjemputnya tak terkecuali Abdullah bin Salam. Ia ingin memperhatikan pendatang baru itu dengan pengamatan yang tajam, sebagai seorang yang ahli firasat. Tatkala diperhatikan raut wajahnya dengan seksama, maka segeralah ia berucap,”Wajah yang demikian, saya yakin bukanlah wajah pendusta!”

Selanjutnya , Abdullah bin Salam yang nama sebenarnya Hushain bin Salam, menceritakan apa yang didengarnya dari perkataan Nabi untuk pertama kalinya. Kata Rasulullah seperti yang didengarnya,”Wahai manusia, berilah makana pada orang-orang miskin, hubungkanlah tali kekeluargaanmu dan sembahyanglah di waktu malam sementara kebanyakan orang sama tidur, niscaya dengan demikian engkau akan masuk surga dengan sejahtera.” Demikianlah hadis riwayat Hakim, Ibnu Majah dan Tirmidzi.

Abdullah bin Salam, adalah seorang pendeta yahudi yang alim dan terhormat dalam kaumnya sebelum masuk Islam. Ia tergolong beberapa gelintir tokoh yang banyak ilmu, terutama tentang sejarah orang-orang yang dahulu.

Hal ini disebabkan oleh kajian-kajiannya yang serius dan mendalam terhadap kitab suci Taurat. Ia termasuk orang yang amat menghargai waktu sejak sebelum maupun sesudah masuk Islam. Sebelum masuk Islam ia membagi waktunya untuk tiga bagian. Pertama, untuk mengajar dan beribadat di tempat suci agama Yahudi. Kedua, bercocok tanam di kebun kurma merawat tanaman-tanamannya dengan teliti. Ketiga, membaca kitab Taurat dan memperdalam isinya.
*
Dari Usamah bin Zaid berkata : “Bahwasannya Nabi SAW pernah melewati suatu majlis dimana terdapat campuran orang-orang Islam dan Yahudi, maka beliau memberi salam kepada mereka.”— HR. Turmudzi.
*
Hakim bin Hizam r.a., bertanya kepada Rasulullah saw.,:”Bagaimanakah pendapat Anda tentang perbuatan-perbuatan baik yang pernah kulakukan pada masa jahiliyah, seperti sedekah, memerdekakan budak dan menghubungkan silaturahmi, apakah semuanya itu mendapat pahala atau tidak?”- jawab Rasululllah SAW:”Anda masuk Islam berkat kebajikan-kebajikan yang telah Anda lakukan sebelumnya (Tetap diperhitungkan/mendapat pahala).”— HR. Muslim.

Hal2 tersebut sekedar riwayat tambahan pula bahwa memang tidak tertutup kemungkinan ada Yahudi atau kaum musyrik yang baik. Sehingga saat orang2 seperti ini jika kebetulan bertemu (dekat) dengan orang Islam yang betul2 berakhlak mulia akan terketuk hatinya untuk masuk Islam.

Menurut saya pun, kurang religi belum tentu kurang baik..semua tergantung potensi dan kesungguhan hati seseroang dalam mencari kekuatan ghaib (Allah SWT).

Sebagai contoh Abu Hurairah r.a. Dibanding sahabat yang lain beliau masuk Islam termasuk belakangan (telat/ketinggalan kereta), hanya 4 tahun bersama Rasulullah SAW.

Namun nama beliau paling tercatat dalam sejarah banyak mendokumentasikan hadis2 yang sangat bermanfaat bagi peradaban Islam selanjutnya. Dan yang pasti telah mendapat jaminan akan selalu bersama kekasihnya (Rasulullah SAW) pula di surga.

Mari kita tiru akhlak Rasulullah SAW sebaik mungkin…biar dunia penuh rahmat… sikap dan tindakan Rasulullah emang patut ditiru, sbg suri Tauladan yang baik… serta rosulullah itu yang telah memanusiakan kita.. dan nabi muhammad aklak memiliki akhlak manusia yang paling baek,, so mengapa kita tidak meniru Akhlak Nabi Muhammad

Sabtu, 06 November 2010

Hidup miskin justru merupakan pilihan Rasulullah SAW

Hidup miskin justru merupakan pilihan Rasulullah SAW. Doa beliau yang terkenal: "Allahumma ahyini miskiinan wa amitnii miskiinan wakhsyurnii fii zumratil masaakiin." (Ya Allah ya Tuhanku, berilah aku kehidupan miskin dan mati dalam keadaan miskin dan kumpulkanlah aku dengan golongan orang-orang miskin." Beliau bisa memilih miskin karena beliau memang dalam posisi bisa memilih: beliau pernah dan kuat kaya; juga pernah dan kuat miskin. Bayangkan beliau wafat tidak meninggalkan apa-apa, bahkan masih punya barang yang digadekan dan belum tertebus di orang Yahudi.
Karena hidup miskin merupakan 'pilihan', jadi beliau tidak pernah menganggap kemiskinan merupakan kesulitan. (Tidak makan sehari-dua hari sudah merupakan hal biasa bagi beliau).
Wallahuy a'lam.

Ketaatan kepada orang tua

Ketaatan kepada orang tua, guru, atau pemerintah, batasannya ialah dawuh : "Laa thaa'ata limakhluuqin fii ma'shiyatil Khaaliq", Tidak ada taat kepada makhluk dalam hal maksiat/melawan Sang Khalik. Kepada orangtua kita, kita harus taat; asal orangtua kita tidak menyuruh kita maksiat kepada Allah.
Taat dan menghormati orangtua tidak bertentangan dengan sikap berbeda pendapat. Perbedaan pendapat antara anak-orangtua, sebagaimana umumnya perbedaan-perbedaan pendapat, dapat disikapi dengan saling bertukar pikiran secara baik-baik. Saling memberikan hujjah dan alasan, sampai mendapatkan titik temu. Bila tidak, ya sepakat dalam perbedaan. Masing-masing berjalan sesuai pendapatnya, tapi tetap saling menghormati.

Tidak Suka Bergaul Dengan Manusia

Memanusiakan manusia sangat sulit "Bergaul dengan Allah itu lebih enak dan lebih nikmat karena Allah memiliki lembaga pengampunan banyak sekali, seperti shalat, zakat, dan puasa," katanya seperti dikutip Antara, pekan lalu.
Saat ceramah pada acara halalbihalal di kampus ITS Surabaya, anggota Rais Syuriah PBNU itu mengaku hal itulah yang membedakan saat dirinya bergaul dengan manusia.

"Manusia hanya memberi kesempatan minta maaf setahun sekali pada setiap halalbihalal. Itu pun sulit. Padahal, kalau datang kepada Allah dengan bertronton-tronton dosa, akan diampuni. Tetapi, kalau dengan manusia, belum tentu," ucapnya.

Di hadapan sekitar 1.000 sivitas akademika ITS Surabaya, alumnus Pesantren Lirboyo, Kediri, dan Pesantren Al Munawwar Krapyak, Yogyakarta, itu menyindir pemimpin saat ini yang hanya setahun sekali meminta maaf, padahal dosanya "bejibun"

"Pemimpin itu sering tak memanusiakan manusia. Kalau Allah, justru memanusiakan manusia sehingga hobi memberi ampun. Tetapi, pemimpin justru hanya memanusiakan manusia saat menjadi calon. Sedangkan kalau sudah jadi pemimpin, sulit minta maaf," katanya.Padahal, kata alumnus Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir itu, sikap yang suka menyakiti atau merampas hak orang lain akan menjadi ganjalan bagi seseorang dalam menuju surga.

"Meski kita sering puasa dan ibadah segala macam kepada Allah Swt, kalau masih suka menyakiti atau merampas hak orang lain, tetap akan terganjal ke surga. Kalau dengan Allah Swt, justru dijamin tidak ada masalah," katanya.
Barangkali, hal itu yang membuat Gus Mus yang juga budayawan itu melihat tradisi halalbihalal merupakan kebutuhan untuk melebur kesalahan kepada orang lain agar dapat dimaafkan.

"Halalbihalal sendiri merupakan tradisi khas Indonesia, tetapi baik untuk dilestarikan. Ibaratnya, halal itu bahasa Arab, tetapi kalau halalbihalal nggak ada dalam kamus bahasa Arab karena merupakan rakitan Indonesia," ujarnya tersenyum.

Jumat, 05 November 2010

DUALISME

Dalam sebuah acara talk-show di sebuah stasiun TV Inggeris tahun 90 an ditampilkan isu pelacuran. Panelisnya pendidik, pastur, tokoh masyarakat dan beberapa pelacur. Hampir semua menyoroti profesi pelacur dengan nada sinis. Pelacur adalah sampah masyarakat. Pelacur mesti dijauhkan dari anak-anak. Merusak adat kesopanan sosial, dan seterusnya. Tapi yang menarik giliran pelacur angkat bicara. "Saya memang pelacur. Dan saya melakukan ini karena saya janda. Saya menjalani profesi ini untuk menghidupi tiga orang anak saya. Kalian boleh saja mencemooh. Tapi siapa yang perduli jika anak-anak saya kelaparan, siapa! Siapa!" ia berteriak lantang. "Supaya kalian semua tahu, lanjutnya, saya memang pelacur tapi hati saya tetap suci". Hadirin pun bersorak.
Nampaknya orang bersorak bukan karena ia pelacur, tapi karena ia dualis. Menjadi pelacur dan merasa suci. Dua sifat yang kontradiktif. Yang saya heran justru mengapa mereka bersorak. Sebab doktrin dualisme sudah lama berakar di dalam pemikiran Barat. Asal usul terdekatnya adalah filsafat akal (philosophy of mind) yang digemari Descartes, Kant, Leibniz, Christian Wolf dan lain-lain. Menurut Christian Wolff misalnya "The dualists (dualistae) are those who admit the existence of both material and immaterial substances," tapi wujud materi dan jiwa tepisah. Pengertian ini disepakati Pierre Bayle dan Leibniz.
Bahkan konon Barat mewarisinya dari kepercayaan Zoroaster (1000 SM) di Timur. Dunia dianggap sebagai pergulatan abadi antara kebaikan dan kejahatan. Thomas Hyde menemukan doktrin ini dalam sejarah agama Persia kuno (Historia religionis veterum Persiarum, 1700). Doktrin Zoroaster diwarisi oleh Manicheisme dan diramu dengan dualisme Yunani. Tuhan akhirnya dianggap sebagai person dan juga materi.
Bagi orang Mesir kuno Re adalah tuhan matahari simbol kehidupan dan kebenaran. Lawannya adalah Apophis lambang kegelapan dan kejahatan. Deva dalam agama Hindu adalah tuhan baik, musuhnya adalah asura tuhan jahat. Di Babylonia peperangan antara Marduk dan Tiamat adalah mitos yang mewarnai worldview mereka. Mitologi Yunani selalu menampilkan peperangan Zeus dengan Titans. Di Jerman perang antara Ases dan Vanes, meski berakhir damai.
Dalam filsafat, Pythagoras adalah dualis. Segala sesuatu diciptakan saling berlawanan: satu dan banyak, terbatas tak terbatas, berhenti-gerak, baik-buruk dsb. Empedocles setuju dengan Pythagoras, baginya dunia ini dikuasai oleh dua hal cinta dan kebencian. Plato dalam dialog-dialognya memisahkan jiwa dari raga, inteligible dari sensible.
Tapi apakah dualisme itu benar-benar realitas? Atau sekedar persepsi yang menyimpang? Sebab nilai-nilai monistis (kesatuan) dalam realitas juga ada dan riel. Heraclitus dan Parmenides mengkritik dualisme Pythagoras. Banyak itu itupun berasal dari yang satu yang abadi. Yang dianggap saling berlawanan itu sebenarnya membentuk kesatuan dan tidak bisa dipisahkan. Aristotle ikut-ikutan. Dualisme Plato juga tidak benar. Jika jiwa diartikan bentuk (form) dari raga alami yang berpotensi hidup maka jiwa adalah pasangan raga. Jadi jiwa dan raga adalah suatu kesatuan. Tapi Aristotle ternyata masih dualis juga. Ia memisahkan akal dari jiwa.
Dalam kepercayaan kuno pun unsur monisme juga wujud. Marduk ternyata turunan dari Tiamat. Zeus dan Titan berasal dari moyang yang sama. Leviathan ternyata diciptakan Tuhan. Pemberontak Mahabharata adalah dari keluarga yang sama. Dalam agama Zoaraster, kebaikan selalu dinisbatkan kepada Ahura Mazda atau Ohrmazd sedangkan kejahatan disifatkan kepada Ahra Mainyu atau Ahriman. Tapi dalam kitab Gathas, kebaikan dan kejahatan adalah saudara kembar dan memilih salah satu karena kehendak.
Para pemikir Kristen mulanya memilih ikut Plato, tapi mulai abad ke 13 mereka pindah ikut Aristotle dengan beberapa modifikasi. Di zaman Renaissance dualisme Plato kembali menjadi pilihan. Tapi pada abad ke 17 Descartes memodifikasinya. Baginya yang riel itu adalah akal sebagai substansi yang berfikir (substance that think) dan materi sebagai substansi yang menempati ruang (extended substance). Teori ini dikenal dengan Cartesian dualism. Tujuannya agar fakta-fakta didunia materi (fisika) dapat dijelaskan secara matematis geometris dan mekanis. Kant dalam The Critique of Pure Reason mengkritik Descartes, tapi dia punya doktrin dualismenya sendiri. Pendek kata Neo-Platonisme, Cartesianisme dan Kantianisme adalah filsafat yang mencoba merenovasi doktrin dualisme. Tapi terjebak pada dualisme yang lain.
Perang antara monisme dan dualisme, sejatinya adalah pencarian konsep ke-esaan-an (tawhid). Peperangan itu digambarkan dengan jelas oleh Lovejoy dalam bukunya The Revolt Against Dualism. Fichte dan Hegel, misalnya juga mencoba menyodorkan doktrin monisme, tapi bagaimana bentuk kesatuan kehendak jiwa dan raga, tidak jelas. Nampaknya, karena arogansi akal yang tanpa wahyu (unaided reason) maka monisme tersingkir dan dualisme berkibar. Jiwa dan raga dianggap dua intitas.
Seorang dualis melihat fakta secara mendua. Akal dan materi adalah dua substansi yang secara ontologis terpisah. Jiwa-raga (mind-body) tidak saling terkait satu sama lain, karena beda komposisi. Akal bisa jahat dan materi bersifat suci. Atau sebaliknya, jiwa selalu dianggap baik dan raga pasti jahat. Padahal dari jiwalah kehendak berbuat jahat itu timbul. Dalam Islam kerja raga adalah suruhan jiwa (innama al-a'mal bi al-niyyat). Karena itu ketulusan dan kebersihan jiwa membawa kesehatan raga.

Dualis dikalangan antropolog pasti memandang manusia dari dua sisi: akal dan nafsu, jiwa dan raga, kebebasan dan taqdir (qadariyyah & jabariyyah). Dalam filsafat ilmu, dualisme pasti merujuk kepada dichotomi subyek-obyek, realitas subyektif dan obyektif. Kebenaran pun menjadi dua kebenaran obyektif dan subyektif. Bahkan di zaman postmo kebenaran ada dua absolut dan relatif. Dalam Islam konsep tawhid inherent dalam semua konsep, tentunya asalkan sang subyek berfikir tawhidi.
Nampaknya doktrin dualisme telah memenuhi pikiran manusia modern, termasuk pelacur itu. Pernyataan pelacur itu tidak beda dari dialog dua sejoli dalam film Indecent Proposal, "I slept with him but my heart is with you". Seorang dualis bisa saja berpesan "lakukan apa saja asal dengan niat baik". Anak muda Muslim yang terjangkiti pikiran liberal akan berkata `jalankan syariah sesuka hatimu yang penting mencapai maqasid syariah". Kekacauan berfikir inilah kemudian yang melahirkan istilah "penjahat yang santun", "koruptor yang dermawan", "atheis yang baik", "Pelacur yang moralis", dan seterusnya. Mungkin akibat ajaran dualisme pula Pak Kyai menjadi salah tingkah dan berkata "Hati saya di Mekkah, tapi otak saya di Chicago". Dualisme akhirnya bisa menjadi perselingkuhan intelektual. Hatinya berzikir pada Tuhan tapi fikirannya menghujatNya. (hidayatullah)

Penulis Direktur Eksekutif Institute for the Study of Islamic Thought and Civilization (INSISTS)